Konstruktivisme
1. Teori Konstruktivisme
Salah satu
prinsip yang terpenting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak semata-mata
memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus dapat membangun pengetahuan
didalam benaknya. Peran guru disini adalah sebagai menciptakan cara mengajar
yang mampu membuat informasi yang disampaikan menjadi lebih bermakna dan
relevan bagi siswa untuk menuangkan ide-idenya. Intinya guru sebagai motivator
dalam pembelajaran.
Berdasarkan
penjelasan diatas, sebenarnya sudah terjadi revolusi di dalam psikologi
pendidikan. revolosi itu terjadi karena telah munculnya teori konstruktivistik.
Menurut Brooks dalam Slavin (2000:256) mengatakan “’ the essence of
contructivist theory is the idea that learners must individually discover and transform
complek information if they are to make it their own.
Menurut Von Glasersfeld dalam Suparno (1997) “Kontruktivisme adalah salah
satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita konstruksi
(bentukan) kita sendiri’. Hal ini berarti bahwa pengetahuan bukanlah suatu
tiruan dari kenyataan yang ada. Tetapi pengetahuan merupakan akibat dari suatu
kunstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Dalam kontruktivis
menyatakan bahwa semua pengetahuan yang kita peroleh adalah konstruksi kita
sendiri, maka mereka menolak kemungkinan transfer pengetahuan dari seseorang
kepada yang lain bahkan secara prinsipil.
Menurut Slavin (2000:256) contructivist theories of learning, theories
that state that state that learners must individually discover and transform
complekkx information, cheking new information against old rules and revising
rules when they no longer work.
Jadi teori konstruktivis adalah teori yang menyatakan bahwa perolehan
pengetahuan atas bentukan sendiri dari pebelajar untuk menjadi miliknya dan
mentransfer informasi secara komplek menjadi sederhana bermakna, agar menjadi
miliknya sendiri
2. Sejarah Kontruktivisme
Konstruktivis lahir dari gagasan Piaget dan Vigotsky dimana keduanya
menekankan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsepsi-konsepsi yang
telah dipahami sebelumnya diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam
memahami informasi-informasi baru.
Pembelajaran sosial ide-ide konstruktivis modern banyak berlandaskan pada
teori Vygotsky. Menurut Karpov dan Bransford dalam Slavin (2000) yang
digunkakan dalam menunjang metode pengajaran yang menekankan pada pembelajaran
kooperatif, pembelajaran berbasis proyek dan penemuan.
Empat kunci yang diturunkan dari teori ini adalah pertama, penekanannya
pada hakikat sosial dari pembelajaran yaitu siswa belajar melalui interaksi
dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Kedua, zona perkembangan
terdekat atau zone of proximal development yaitu bahwa siswa
belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan
terdekat mereka. ketiga, pemagangan kognitif atau cognitife
apprenticeship yaitu proses dimana seseorang tahap demi tahap
berkesepakatan dalam belajar dengan seseorang apakah seorang yang dewasa atau
teman sebaya yang lebih tinggi. Dan yang keempat adalah scaffolding ataumediated
learning yaitu siswa seharusnya diberikan tugas-tugas kompleks sulit,
dan realistic dan kemudian diberikan bantuan secukupnya untuk menyelesaikan
tugasnya .
3. Prinsip dan karakteristik Belajar
Konstruktivis
Dalam teori belajar konstruktivistik (Brooks, 1990. Slavin,2000) ciri khas
belajar kontruktivis adalah pebelajar harus secara individual menemukan dan
mengubah informasi yang kompleks menjadi sederhana bermakna, agar menjadi
miliknya sendiri. Teori ini berpendapat bahwa pebelajar selalu membandingkan
informasi yang satu dengan informasi yang lain jika tidak cocok ia berupaya
untuk mengubahnya agar sesuai dengan skemanya. Jadi pebelajar bersifat
konstruktif, artinya membangun makna, pemahaman dari bermacam-macam informasi
pengertian konstruktif dapat digambarkan sebagai proses berpikir pada saat
terjadinya penemuan ilmiah, pemecahan masalah, menciptakan sesuatu, kegiatan
tersebut melibatkan eksplorasi, eksperimentasi, kreatifitas, ketekunan,
kesabaran, rasa ingin tahu, dan kerjasama. Pandangan ini mempunyai implementasi
yang sangat besar untuk pembelajaran karena mendorong pebelajar berperan lebih
aktif dalam belajarnya.
Suparno (1997) mengidentifikasi 4 prinsip kontruktivis dalam belajar yakni
sebagai berikut; (1) pengetahuan dibangun oleh mahasiswa sendiri baik secara
personal maupun sosial, (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkanb dari pebelajar
kepada pebelajar, kecuali dengan keaktifan mahasiswa itu sendiri untuk menalar,
(3) pengajar sekedar membantu pebelajar dengan menyediakan sarana dan situasi
agar proses konstruksi pebelajar berlangsung secara efektif dan efisien.
Implikasi prinsip-prinsip belajar tersebut dalam proses pembelajaran
diantaranya bahwa mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari
pembelajar kepada pebelajar, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan
pebelajar membangun sendiri pengetahuannya sendiri, mengajar berarti
berpartisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna,
mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi
Sedangkan Slavin (1997) mengidentifikasi 4 karakteristik belajar dengan
pendekatan konstruksi yaitu : (1) Proses Top-Down, yang berarti bahwa siswa
mulai dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya
memecahkan atau menemukan (dengan bantuan guru) ketrampilan-ketrampilan dasar
yang diperlukan. Sebagai contoh siswa dapat diminta untuk menuliskan suatu
susunan kalimat, dan baru kemudian belajar tentang mengeja, tata bahasa, dan
tanda baca. (2) pembelajaran kooperatif yaitu siswa akan lebih mudah menemukan
dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah
tersebut dengan temanya. (3) Generative learning(pembelajaran
generatif) yaitu belajar itu ditemukan meskipun apabila kita menyampaikan
sesuatu kepada siswa, mereka harus melakukan operasi mental dengan informasi
itu untuk membuat informasi masuk kedalam pemahaman mereka. (4) pembelajaran
dengan penemuan yaitu, siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui
keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan
guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang
mmungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
4. Pembelajaran Menurut Konsep Kontruktivisme
Menurut konsep kontruktivisme, pengetahuan seseorang bersifat temporer,
terus berkembang, terbentuk dengan mediasi masyarakat dan budaya. Pengetahuan
itu tidak pernah berhenti berkembang. Pengetahuan dalam diri seseorang
terbentuk ketika seseorang mengalami tempaan kognitif. Melalui persepektif ini
belajar dapat dipahami sebagai proses terbentuknya konflik kognitif yang
bergulir dengan sendirinya dalam diri seseorang ketika yang bersangkutan
memperoleh pengalaman konkrit, wacana kolaboratif, dan kegiatan melakukan
refleksi.
Para pendidik yang telah mencoba mewujudkan paradigma konstruktivisme
didalam kelas kemudian mendiskripsikan prinsip-prinsip pembelajaran berdasarkan
paradigma tersebut. Catherine Twomey Fosnot, ketika memberikan pengantarnya
untuk buku berjudul “ In Search of Understanding the Case for
Contructivist Classroom” karya Grennon Brooks dan Brooks
(1993) mengformulasikan 5 prinsip belajar menurut paradigma konstruktivisme
yang satu dengan yang lain berjalin berkelindan, yaitu: (1) menghadapkan peserta
didik kepada problem yang saling berkaitan; (2) membuat struktur pembelajaran
lewat konsep pokok dan disekitar pikiran dasarnya; (3) mendorong dan menghargai
munculnya pandangan dari dalam diri peserta didik ; (4) kurikulum disesuaikan
dengan kebutuhan dan kemauan peserta didik, dan (5) selalu menilai kemajuan
peserta didik melalui konteks pembelajaran. Kelima prinsip akan menjadi subur
didalam kelas apabila guru dengan iklas menerima dan mendorong tumbuhnya
otonomi dalam diri siswa, data mentah hasil belajar dan sumber utama rekaman
hasil belajar lainnya dijadikan dasar untuk meneliti kemajuan belajar siswa.
Kelas akan menjadi hidup dan suasana kelas kontruktivisme akan mendapatkan
lahan yang subur apabila guru menerima dengan lapang dada terbuka dan memberikan
tempat terhadap munculnya pikiran siswa, rasa ingin tahu, keinginan meneliti,
dialog guru siswa dan siswa-siswa, serta keberanian mempersoalkan sesuatu yang
belum jelas.
Driver dan Oldham dalam suparno (1997) menyatakan beberapa ciri mengajar kontruktivis,
sebagai berikut :
1.
Orientasi. Murid diberi kesempatan untuk mengadakan
observasi terhadap topik yang hendak dipelajari.
2.
Elicitasi, murid dibantu untuk mengungkapkan idenya
secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lain-lain. Murid
diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diobservasikan, dalam wujud
tulisan, gambar, ataupun poster.
3.
Restrukrisasi ide. Dalam hal ini ada 3 hal yaitu; (1)
klasifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain/ teman lewat
diskusi ataupun lewat pengumpulan ide. Berhadapan dengan ide-ide lain,
seseorang dapat terangsang untuk mengkonstruksi gagasannya kalau tidak cocok
atau sebaliknya, menjadi lebih yakin bila gagasannya cocok ; (2) membangun ide
baru, ini terjadi bila dlam diskusi itu idenya bertentangan dengan ide lain
atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaan yang diajukan teman.;(3)
mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen, kalau dimungkinkan ada baiknya
gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan percobaan atau persoalan yang baru.
4.
Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau
pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan dalam banyak
situasi yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan murid lebih lengkap,
bahkan lebih rinci dengan segala pengecualiannya.
5.
Review, bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa
dalam aplikasi pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari, seseorang
perlu merevisi gagasannya entah dengan menambah sesuatu, atau mengubahnya
menjadi lebih lengkap.
5. Model Pembelajaran dengan
Pendekatan Kontruktivis
Model pembelajaran yang di kembangkan dengan pendekatan Konstruktivistik
adalah Model pembelajaran berdasarkan Masalah (Problem based Learning ).
Dan pembelajaran kooperatif (cooperative learning).Model pembelajaran
ini mencakup pendekatan pembelajaran luas, dan menyeluruh (Areunds ,1997;7)
Model problem based learning meliputi kelompok–kelompok
belajar pembelajaran. Bekerjasama memecahkan suatu masalah yang telah di
sepakati bersama. Pebelajar menggunakan bermacam-macam keterampilan dan
prosedur, pemecahan masalah dan berfikir kritis, dengan demikian modal
pembelajaran yang di kembangkan menggunakan sejumlah keterampilan metodologi
dan posedural seperti merumuskan masalah, mengemukakan pertanyaan , melakukan
penelitian , berdiskusi dan memperdebatkan temuan, bekerja secara kolaboratif ,
menciptakan suatu karya ,dan melakukan presentasi.
Beberapa alasan yang di jadikan pijakan dalam mengembangkan model
pembelajaran ini, yakni (1) rasional, teorik yang logis yang di susun oleh para
pengembang (2) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana pebelajar belajar
(3) tingkah laku mengajar yang di perlukan agar tujuan pebelajaran dapat
tercapai. Dan (4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran
tercapai.
Karakteristik
pengembangan model pembelajaran berdasarkan masalah (PBM) dan pembelajaan
kooperatif (PK).
Tabel 2
Perbedaan
pembelajaran Berdasarkan Masalah dan Kooperatif
Ciri-ciri
|
Pembelajaran berdasarkan masalah
|
Pembelajaran kooperatif
|
Landasan teori
|
Teori belajar kognitif, teori kontruktivis
|
Teori belajar Sosial, Teori Kontruktivis
|
Pengembang Teori
|
Dewey, Vygotsky, Piaget
|
Dewey, vygotsky, Slavin, Piaget
|
Hasil Belajar
|
Ketrampilan akademik dan inkuiri
|
Ketrampilan akademik dan sosial
|
Ciri Pembelajaran
|
Proyek berdasarkan inkuiri yang dikerjakan dalam
kelompok/ individu
|
Fleksibel, demokratis berpusat pada pebelajar
|
Berdasarkan
tabel tersebut model pembelajaran berdasarkan masalah dan pembelajaran
kooperatif dilandasi teori belajar kontruktivisme :
1.
Berpandangan bahwa pembelajaran perlu dimulai dari
permasalahan nyata yang pemecahannya memerlukan kerjasama kolaborasi diantara
pebelajar.
2.
memandang peran pebelajar sebagai pemandu pebelajar
dalam merinci rencana pemecahan masalah menjadi tahap-tahap kegiatan yang dapat
dilakukan oleh pebelajar .
3.
kemudian memandu bagaimana menggunakan keterampilan
dan strategi yang diperlukan agar tugas-tugas tersebut dapat diselesaikan .
4.
bergantung pada mempertahankan suasana kelas yang
fleksibel dan berorientasi pada upaya penyelidikan.
a. Pembelajaran
berdasarkan masalah (problem based learning)
Menurut Resick dan Glaser dalam Bell gredler (1991:257) masalah dapat
diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang melakukan tugasnya yang tidak
ditemukannya diwaktu sebelumnya. Masalah pada umumnya timbul karena adanya
kebutuhan untuk memenuhi atau mendekatkan kesenjangan antara kondisi nyata
dengan kondisi yang seharusnya.
Pemecahan masalah adalah suatu proses menemukan suatu respon yang tepat
terhadap suatu situasi yang benar-benar unik dan baru bagi pemecahan masalah.
Kemampuan memecahkan masalah adalah salah satu bentuk kemampuan tingkat tinggi
dan hierarki belajar (Dahar. 1988). Dalam pengembangan pembelajaran ini
pemecahan masalah didefinisikan sebagai suatu proses atau upaya untuk
mendapatkan suatu penyeleseian tugas atau situasi yang benar-benar sebagai
masalah dengan menggunakan aturan-aturan yang sudah diketahui.
Model pembelajaran berdasarkan masalah menurut Areund (1997:157)
penggunaannya didalam pengembangan tingkat berpikir yang lebih tinggi dalam
situasi yang berorientasi pada masalah termasuk pembelajaran bagaimana belajar.
Model pembelajaran ini juga mengacu kepada pembelajaran –pembelajaran lain.
Seperti pengajaran berdasarkan proyek (proyek base Instruction). Pembelajaran
berdasarkan pengalaman (experience base instruction), pembelajaran autentik
(authentic instruction), dan pembelajaran bermakna pada pembelajaran ini
pebelajar berperan mengajukan permasalahan atau pertanyaan memberikan dorongan,
memotivasi dan menyediakan bahan ajar, dan fasilitas yang diperlukan pebelajar.
Selain itu pebelajar memberikan dukungan dalam upaya meningkatkan temuan dan
perkembangan intelektual pebelajar.
Pembelajaran ini banyak menumbuhkembangkan kreatifitas belajar, baik secara
individual maupun secara kelompok hampir setiap langkah menuntut keaktifan
pebelajar, sedangkan peranan pebelajar lebih banyak sebagai stimuli ,membimbing
kegiatan pebelajar, dan menentukan arah apa yang harus dilakukan oleh
pebelajar.
Beberapa kelebihan
dalam pembelajaran ini adalah;
1.
Pebelajar lebih memahami konsep yang diajarkan sebab
mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut.
2.
Melibatkan secara aktif memecahkan maslah dan menuntut
ketrampilan berfikir pebelajar yang lebih tinggi
3.
Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki
pebelajar sehingga pembelajaran bermakna.
4.
Pembelajar dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab
masalah-masalah yang diseleseikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata,
hal ini dapat meningkatkan motivasi dan ketertarikan pebelajar terhadap bahan
yang dipelajari.
5.
Menjadikan pebelajar lebih mandiri dan dewasa mampu
memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang
positif diantara pebelajar.
6.
Pengkondisian pebelajar dalam belajar kelompok yang
saling berinteraksi terhadap pembelajaran dan temuannya sehingga pencapaian
kesempatan belajar pebelajar dapat diharapkan.
Karakteristik
pembelajaran berdasarkan masalah menurut Areunds Richards adalah
1.
Pengajuan pertanyaan / masalah
2.
Keterkaitan dengan didiplin ilmu lain
3.
Menyelidiki autentik
4.
Memamerkan hasil kerja
5.
Kolaborasi.
Menurut
Ibrahim (2002) dalam buku pembelajaran kooperatif, strategi pembelajaran
berbasis masalah terdiri dari 5 fase atau langkah. Fase-fase dan perilaku
tersebut merupakan tindakan berpola. Pola ini diciptakan agar hasil
pembelajaran dengan pengembangan pembelajaran berbasis masalah dapat
diwujudkan.
Tabel 3: Sintaks PBM adalah sebagai berikut :
Fase-fase
|
Perilaku pendidik
|
Fase 1 : memberikan orientasi tentang
permasalahannya kepada peserta didik.
|
Pendidik menyampaikan tujuan pembelajaran,
mendeskripsikan berbagai kebutuhan logistik penting dan memotivasi peserta
didik untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah.
|
Fase 2 : mengorganisasikan peserta didik untuk
meneliti
|
Pendidik membantu peserta didik mendefinisikan dan
mengoragnisasikan tugas-tugas belajar terkait dengan permasalahannya.
|
Fase 3 : membantu investigasi mandiri
dan kelompok
|
Pendidik mendorong peserta didik untuk mendapatkan
informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan dan
solusi.
|
Fase 4 : mengembangkan dan
mempresentasikan artefak dan exhibit
|
Pendidik membantu peserta didik dalam merencanakan
dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat, seperti laporan, rekaman video, dan
model-model serta membantu mereka untuk menyampaikannya kepada orang lain.
|
Fase 5 : menganalisis dan mengevaluasi proses
mengatasi masalah
|
Pendidik membantu peserta didik melakukan refleksi
terhadap investigasinya dan proses-proses yang mereka gunakan.
|
Ibrahim.(2002)
David Johnson and Johnson mengemukakan 5 langkah strategi PBL melalui
kegiatan kelompok :
1.
Mendefinisikan masalah, yaitu
merumuskan masalah dari peristiwa tertentu yang mengandung isu konflik, hingga
siswa menjadi jelas masalah apa yang akan dikaji. Dalam kegiatan ini guru bisa
meminta pendapat dan penjelasan siswa tentang isu-isu hangat yang menarik untuk
dipecahkan.
2.
Mendiagnosis masalah, yaitu menentukan sebab-sebab
terjadinya masalah, serta menganalisis berbagai faktor baik faktor yang bisa
menghambat maupun faktor yang dapat mendukung dalam penyelesaian masalah.
Kegiatan ini bisa dilakukan dalam diskusi kelompok kecil, hingga akhirnya
peserta didik dapat mengurutkan tindakan-tindakan prioritas yang dapat
dilakukan sesuai dengan jenis penghambat yang diperkirakan.
3.
Merumuskan alternatif strategi, yaitu
menguji setiap tindakan yang telah dirumuskan melalui diskusi kelas. Pada
tahapan ini setiap siswa didorong untuk berpikir mengemukakan pendapat dan
argumentasi tentang kemungkinan setiap tindakan yang dapat dilakukan.
4.
Menentukan dan menerapkan strategi pilihan, yaitu
pengambilan keputusan tentang strategi mana yang dapat dilakukan.
5.
Melakukan evaluasi, baik evaluasi proses maupun
evaluasi hasil. Evaluasi proses adalah evaluasi terhadap seluruh proses
pelaksanaan kegiatan, evaluasi hasil adalah evaluasi terhadap akibat dari
penerapan strategi yang diterapkan.(Wina Sanjaya, 2008 : 217-218)
Menurut John
Dewey, penyelesaian masalah dilakukan melalui 6 tahap :
Tabel 4: Tahapan Penyelesaian Masalah
Tahap-tahap
|
Kemampuan yang diperlukan
|
Merumuskan masalah
|
Mengetahui dan merumuskan masalah secara jelas
|
Menelaah masalah
|
|
Merumuskan hipotesis
|
Berimajinasi dan menghayati ruang lingkup, sebab
akibat, dan alternatif penyelesaian.
|
Mengumpulkan dan mengelompokkan data sebagai bahan
pembuktian hipotesis
|
Kecakapan mencari dan menyusun data. Menyajikan data
dalam bentuk diagram, gambar, dan table.
|
Pembuktian hipotesis
|
Kecakapan menelaah dan membahas data. Kecakapan
menghubung-hubungkan dan menghitung, ketrampilan mengambil keputusan dan
kesimpulan.
|
Menentukan pilihan penyelesaian
|
Kecakapan membuat alternative penyelesaian
Kecakapan menilai pilihan dengan memperhitungkan akibat yang akan terjadi pada setiap pilihan. |
Berdasarkan
pendapat dari ketiga tokoh tersebut, maka dapat di simpulkan bahwa sintaks
strategi pembelajaran berbasis masalah terdiri dari memberikan orientasi
permasalahan kepada peserta didik, mendiagnosis masalah, pendidik membimbing
proses pengumpulan data individu maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan
hasil karya, menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil.
Strategi
pembelajaran berbasis masalah dapat diterapkan melalui kegiatan individu, tidak
hanya melalui kegiatan kelompok. Penerapan ini tergantung pada tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai dan materi yang akan diajarkan. Apabila materi
yang akan diajarkan dirasa membutuhkan pemikiran yang dalam, maka sebaiknya
pembelajaran dilakukan melalui kegiatan kelompok, begitupula sebaliknya.
b. Pembelajaran Kooperatif
1. Pengertian
Menurut Slavin (2000) Pembelajaran kooperatif atau cooperative
learning mengacu pada metode pengajaran dimana siswa bekerja bersama
dalam kelompok kecil. Banyak terdapat pendekatan kooperatif yang berbeda satu
dengan yang lain.
Aktivitas pembelajaran kooperatif dapat memainkan banyak peran dalam
pembelajaran. Didalam satu pelajaran tertentu pembelajaran kooperatif dapat
digunakan untuk tiga tujuan yang berbeda. Misalnya saja dalam pelajaran
matematika para siswa bekerja sebagai kelompok-kelompok yang sedang berupaya
menemukan sesuatu (misalnya saling membantu mengungkap bagaimana memecahkan
soal pecahan), setelah jam pelajaran yang resmi terjadwal itu habis, siswa
dapat bekerja sebagai kelompok-kelompok diskusi. Akhirnya, siswa mendapat
kesempatan bekerja sama untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah
menguasai segala sesuatu tentang pelajaran tersebut dalam persiapan untuk kuis,
bekerja dalam suatu format belajar kelompok.
2. Metode-metode Pembelajaran Kooperatif
Telah dikembangkan dan diteliti berbagai macam metode pembelajaran
kooperatif yang amat berbeda dengan yang lainnya. Metode pembelajaran
kooperatif dalam penelitian ini diterapkan tipe jigsaw, namun tidak ada
salahnya kita akan membahas beberapa metode pembelajaran kooperatif lain yang
paling ekstensif, dievaluasi dan dideskripsikan adalah sebagai berikut :
a) Cooperative
Jigsaw, guru membagi siswa ke dalam kelompok belajar kecil yang
terdiri dari 4 – 5 orang siswa dengan kemampuan yang heterogen, yang disebut
kelompok asal atau kelompok induk (home group), sehingga setiap siswa
bertanggungjawab terhadap penguasaan setiap subtopic yang ditugaskan guru
dengan sebaik-baiknya. Siswa dari masing-masing kelompok asal yang
bertanggungjawab terhadap subtopic yang sama berkumpul membentuk kelompok yang
disebut kelompok ahli (expert group), siswa-siswa dalam kelompok ini
bekerjasama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya, dan siswa pada kelompok
ahli membubarkan diri dan kembali ke kelompok asal, maka siswa tersebut sebagai
ahli dalam subtopic bagiannya dan mengajarkan informasi penting dari subtopic
tersebut kepada temannya di kelompok asal.
b) Student
Teams- Achievement Division (STAD), dalam STAD (Slavin, 2000), siswa
ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan empat orang ( tidak terlalu besar).
Guru menyajikan pelajaran dan kemudian siswa bekerja dalam tim mereka untuk
memastikan bahwa seluruh anggotanya menguasai pelajaran itu. Selanjutnya
seluruh siswa dikenai kuis tentang materi itu, pada waktu kuis ini mereka tidak
boleh saling bantu. Kontribusi siswa terhadap prestasi kelompok dinilai dari
peningkatan performansi murid itu sendiri tanpa dibandingkan dengan murid-murud
lain.
c) Team-Games Tournaments
(TGT), guru membagi kelas menjadi kelompok-kelompok kecil dan
masing-masing kelompok diberi bahan ajar yang sama. guru juga harus bisa
mengkondisikan kelas kedalam suasana berkompetisi. Kelompok mana yang
menyelesaikan tugas dengan baik benar mendapat poin. Kemenangan kelompok
ditentukan oleh besarnya poin yang mereka raih.
d) Team Assisted
Individualization (TAI), kegiatannya hampir sama dengan STAD.
Perbedaannya terletak pada ketidaksamaan bahan pelajarannya pada masing-masing
kelompok.
e) \Cooperative Integrated
Reading and composition (CIRC). CIRC adalah meliputi program pengajaran
membaca dan menulis di sekolah dasar dan sekolah lanjutan.
3. Langkah-langkah
pembelajaran kooperatif
Menurut
Areunds (1997) terdapat enam tahap utama dalam belajar kooperatif. Keenam
tahapan tersebut dapat disajikan sebagai berikut:
Tahap 1 Pemberian informasi tujuan belajar
Tahap2
Analisis masalah guna mencapai maksud pembelajaran sebagaimana dimaksud tahap 1
dalam hal ini pembelajar dapat mengunakan metode demonstrasi
Tahap 3
Pembentukan atau mengatur pembelajar dalam team belajar
Tahap 4 Team
belajar bekerja/ melakukan belajar secara kooperatif
Tahap 5
Penyajian hasil kerja team/ unjuk kerja team
Tahap 6 Pemberian
masukan dan penghargaan atas prestasi dan usaha individual maupun kelompok.
Menurut
Ibrahim (2002) dalam buku pembelajaran kooperatif, strategi pembelajaran
kooperatif terdiri dari 6 fase atau langkah.
Tabel
5: Sintaks / Langkah Pembelajaran Kooperatif
Fase-fase
|
Perilaku pendidik
|
Fase 1 : Menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswa
|
Pendidik menyampaikan semua tujuan pelajaran yang
ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
|
Fase 2 : menyajikan informasi
|
Pendidik menyajikan informasi kepada siswa dengan
jalan demonstrasi/presentasi menggunakan multimedia atau lewat worksheet/LKS
yang dibagikan.
|
Fase 3 : mengorganisasikan siswa
kedalam kelompok-kelompok belajar
|
Pendidik menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya
membentuk kelompok-kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar
melakukan transisi secara efisien.
|
Fase 4 : membimbing kelompok bekerja
|
Pendidik membimbing kelompok-kelompok belajar pada
saat mereka mengerjakan tugas mereka.
|
Fase 5 : Evaluasi
|
Pendidik mengevaluasi hasil belajar tentang materi
yang telah dipelajari atau tiap-tiap kelompok mempresentasikan hasil
kerjanya.
|
Fase 6 : memberikan penghargaan
|
Pendidik mencari cara-cara untuk menghargai baik
upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.
|
|
|
Ibrahim.(2002)
Berdasarkan tahapan ini nampak bahwa dalam pembelajaran kooperatif
pembelajar bekerja sama dan saling mempunyai ketergantungan pada tugas-tugas
tujuan dan tingkat keberhasilan belajarnya.
Dengan demikian peran pembelajar dalam pembelajaran kooperatif jelas
berbeda dengan pembelajaran kelompok tradisional, dalam pembelajaran kelompok
tradisional, pembelajar masih dominan dalam pemberian informasi kepada
pembelajar yang dalam hal ini cenderung membentuk komunikasi satu arah. Tidak
demikian halnya pada pembelajaran kooperatif, pada pembelajaran kooperatif
pembelajar lebih bersifat mengamati pebelajar dengan seksama, pembelajar cenderung
sebagai pengelola konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Areunds
Richards 1997. Classroom Instruction and Managemen. New
York
;MC
Grew-Hiil’’
Bell
Gredler, Margaret E. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta:CV.
Rajawali
Brooks J.G.
dan Brooks M.G. 1993. In reseach of Understanding The Case of
Instrusional
Classroom. Alexandria. Virginia: AECO.
Dahar, Ratna
Willis. 1988. Teori-Teori Belajar.Jakarta : Erlangga
Dimyati,
Mohamad. 1989. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud Dirjen
Dikti.
Ibrahim,
dkk. 2002. Pembelajaran Kooperatif. University Press: Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar