KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warohmatullahiwabarokaatuh.
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT,
yang masih senantiasa memberikan nafas
kehidupan dan hidayah-Nya kepada saya selaku mahasiswa yang ingin
mencapai sebagian kecil kesuksesan dalam menuntut ilmu, sehingga saya dapat menyelesaikan laporan hasil
observsi ini.
Laporan ini disusun agar para pembaca memahami dilema dan problematika terhadap psikologis anak jalanan
Sebagai manusia biasa, tentunyasayai sebagai penyusun memiliki
kelemahan dan kekurangan dalam makalah ini, tentnya saya menyadari hal itu seperti
pepatah, tiada gading yang tak retak dan tiada mawar yang tidak berduri, maka dari itu diperlukan kritik dan
saran pembaca untuk melengkapi kekurangan tersebut.
Bandung, 20 November 2013
PENYUSUN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Dalam
pengertian psikologi, yang di maksud dengan lingkungan adalah situasi atau
tempat di mana manusia itu hidup,
menyesuakan dirinya. Lingkungan itu dapat di artikan juga sebagai
segala hal yang merangsang kepada individu, sehingga individu tersebut turut
terlibat karenanya (individu melakukan kegiatan untuk merespon perangsang
tersebut). Sejak masa konsepsi (pembuaha ovum oleh sperma) sampai
dengan masa-masa selanjutnya, individu mrenerima pengaruh dari lingkungan, memberi respons
terhadap lingkungan, dan belajar berbagai hal dari lingkungan.
Urie Bronfrenbrenner dan Ann Crouter (Sigelman
dan Shaffer.1995:86) mengemukakan bahwa lingkungan perkembangan merupakan “berbagai
peristiwa, situasi atau kondisi di luar organisme yang diduga memepngaruhi atau
dipengaruhi oleh perkembangan individu”. Lingkungan ini terdiri atas: (a)
Fisik, yaitu meliputi segala sesuatu dari molekul yang ada sekitar janin
sebelum lahir sampai kepada rancangan arsitektur suatu rumah, dan (b) Sosial,
yaitu meliputi seluruh manusia yang secara pontesial mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh perkembangan individu.
Konsep
lama tentang lingkungan perkembangan, memahaminya sebagai seperangkat kekuatan
yang memebntuk manusia karena manusia dipandang seperti seonggok tanah liat yang dapat
dicetak atau dibentuk. Sekarang dipahami bahwa manusia disamping dipengaruhi, juga
mempengaruhi lingkungan fisik dan sosialnya. Dengan kata lain dapat dikemukakan
bahwa hubungan antara manusia dengan lingkungan itu bersifat saling mempengaruhi
(reciprocal unfluencies).
Hampir
senada dengan perngertian diatas J.P Chaplin(1979:175) mengemukakan bahwa
lingkungan merupakan ”keseluruhan aspek atau fenomena fisik dan sosial yang
mempengaruhi organism individu”. Sementara itu, Joe Kathena (1992:58)
mengemukakan bahwa lingkungan itu merupakan segala sesuatu yang berada di luar
individu yang meliputi fisik dan sosial budaya. Lingkungan ini merupakan sumber
seluruh informasi yang diterima individu melalui alat inderanya: penglihatan,
penciuman, pendengaran, dan rasa.
Berdasarkan ketiga pengertian diatas, bahwa
dimaksud dengan lingkungan perkembangan siswa adalah ”keseluruhan fenomena (peristiwa,
situasi, atau kondisi) fisik atau sosial yang memepngaruhi atau dipengaruhi
perkembangan siswa”. Lingkungan perkembangan siswa yang akan dibahas yaitu
menyangkut lingkungan keluarga, sekolah, kelompok sebaya (peer group), dan
masyarakat.
B.
PERUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas
kami akan membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan yang
meliputi:
1.
Pengertian dan pengaruh ligkungan rumah (keluarga) terhadap
perkembangan individu
2.
Pengertian dan pengaruh lingkungan sekolah terhadap
perkembangan individu
3.
Pengertian dan pengaruh lingkungan teman sebaya terhadap
perkembangan individu
4.
Pengertian dan pengaruh lingkungan budaya terhadap
perkembangan individu
C.
TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
psikologi perkembangan anak dan remaja. Selain itu makalah ini di tujukan agar
para mahasiswa lebih memahami tentang pengaruh dan faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan individu.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
LINGKUNGAN KELUARGA
a.
Pengertian lingkungan keluarga
M.I
Soelaeman (1978 :4-5) mengemukakan pendapat para ahli mengenai pengertian
keluarga, yaitu:
1)
F.J Brown berpendapat bahwa
ditinjau dari sudut pandangan sosiologis keluarga dapat diartikan dua macam, yaitu
a) dalam arti luas keluarga meliputi semua pihak yang ada hubungan darah atau
keturunan yang dapat dibandingkan dengan ”clan” atau marga b) dalam arti sempit
keluarga meliputi orangtua dan nenek.
2)
Maciver menyebutkan
lima ciri khas keluarga yang umum terdapat dimana-mana, yaitu a) hubungan
berpasangan kedua jenis, b) perkawinan atau bentuk ikatan lain yang mengokohkan
hubungan tersebut c) pengakuan akan keturunan, d) kehidupan ekonomis yang
diselenggarakan dan dinikmati bersama dan e) kehidupan berumah tangga.
Dalam
nada sama Sudarja Adiwikarta (1998:66-67) dan Sigelman dan Shaffer (1995:390-391)
berpendapat bahwa ”keluarga merupakan unit sosial terkecil yang bersifat
universal artinya terdapat pada setiap masyarakat di dunia atau suatu sistem sosial
yang terpancang (terbentuk) dalam sistem sosial yang lebih besar”. Bentuk atau
pola keluarga yaitu, 1) keluarga batin/Inti (Nuclear Family), yang terdiri atas
suami/ayah, istri/ibu, dan anak-anak yang lahir pernikahan antar keduanya dan
yang belum berkeluarga (termasuk anak tiri jika ada) 2) keluarga luas (Extended
family), yang keanggotaannya tidak hanya meliputi suami, istri, dan anak-anak
yang belum berkeluarga tetapi juga termasuk kerabat lain yang biasanya tinggal
dalam sebuah rumah tangga bersama seperti mertua (orangtua suami/istri), adik, kakak
ipar atau lainnya bahkan mungkin pembantu rumah tangga atau orang lain yang
tinggal menumpang.
Perubahan sosial budaya yang terjadi
dewasa ini telah menyebabkan perubahan dalam semua aspek kehidupan
bermasyarakat termasuk keluarga. Dalam hal ini Dadang Hawari (1997:165-166)
mengemukakan sebagai berikut.
Perubahan perubahan yang serba cepat
sebagai konsekuensi globalisasi, modernisasi, industrialisasi, dan iptek telah
mengakibatkan perubahan pada nilai-nilai kehidupan sosial dan budaya. Perubahan
itu antara lain pada nilai moral, etik, kaidah agama dan pendidikan anak di rumah,
pergaulan dan perkawinan. Perubahan ini muncul karena pada masyarakat terjadi
pergeseran pola hidup yang semula bercorak sosial religious ke pola individual
materialistis dan sekuler. Salah satu dampak perubahan itu adalah terancamnya
lembaga perkawinan yang merupakan lembaga pendidikan dini bagi anak dan remaja.
Dalam masyarakat modern, telah terjadi perubahan dalam cara mendidik anak dan
remaja dalam keluarga. Misalnya, orangtua memberikan banyak kelonggaran dan “serba
boleh” (greater permissiveness) kepada anak dan remaja. Demikian pula pola
hidup komsumtif telah mewarnai kehidupan anak dan remaja di perkotaan yang dampaknya
adalah kenakalan remaja, penyalangunaan narkotika, alkohol, dan zat aditif
lainnya (NAZA).
Kecendrungan ukuran keluarga yang lebih
kecil seperti (1) keluarga inti,(2) keluarga kecil yang mempunyai dua anak sampai tiga,(3) childless families(keluarga
tanpa anak),yaitu pola keluarga yang perkembangannya tinggi yang lebih
berorientasi kepada karier daripada keluarga,(4) young-parent families
(keluarga dengan orangtua di bawah usia 30 tahun,(5) keluarga yang ibunya
bekerja, dan (6) single-parent families (keluarga orangtua tunggal) yaitu
keluarga yang orang tuanya hanya terdiri dari ibu atau ayah yang bertanggung
jawab megurus anak setelah perceraian, mati, atau kelahiran anak diluar nikah.
b.
Peranan dan fungsi
keluarga
Keluarga
memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Perawatan
orangtua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama
maupun sosial budaya yang diberikan merupakan faktor kondusif untuk
mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat.
Fungsi
dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang, dan
mengembangkan hubungan yang baik diantara anggota keluarga. Hubungan cinta
kasih dalam keluarga tidak sebatas perasaan, akan tetapi juga menyangkut
pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman, respek dan keinginan
untuk menumbuhkembangkan anak yang dicintainya. Keluarga yang hubungan antar
anggotanya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap communication dapat
mengembangkan masalah-masalh kesehatan mental (mental illness) bagi anak.
Mengkaji
lebih jauh tentang fungsi
keluarga dapat dikemukakan secara psikososiologis keluarga berfungsi sebagai:
ü Pemberi
rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya
ü Sumber
pemenuhan kebutuhan baik fisik maupun psikis
ü Sumber
kasih sayang dan penerimaan
ü Model
pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi anggota masyarakat
yang baik
ü Pemberi
bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial dianggap tepat
ü Pembentuk
anak dalam rangka menyesuikan dirinya terhadap kehidupan
ü Pemberi
bimbingan dalam belajar keterampilan motorik verbal dan sosial yang dibutuhkan
utnuk penyesuaian diri
ü Stimulator
bagi pengemabngan kemampuan anak untuk mencapai prestasi,baik di sekolah
ü Pembimbing
dalam mengembangkan aspirasi
ü Sumber
persahabatan bagi anak sampai cukup usia untuk mendapatkan teman diluar rumah
Sedangkan dari sudut pandang sosiologis
fungsi keluarga ini dapat diklasifikasikan ke dalam fungsi-fungsi berikut.
1. Fungsi
Biologis
Keluarga
dipandang sebagai pranata sosial yang memberikan legalitas, kesempatan dan
kemudahan bag para anggotanya untuk memenuhi kebutuhan dasar biologisnya
kebutuhan itu meliputi (a) pangan,sandang,dan papan (b) hubunagn seksual
suami-istri,dan (c) reproduksi atau pengembangan keturunan.
2. Fungsi
ekonomi
Keluarga dalam hal ini ayah mempunyai
kewajiban untuk menafkahi anggota keluarganya dan kewajiban suami memberikan
makan dan pakaian kepada para istri dengan cara yang ma’ruf (baik). Seseorang
(suami) tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
3. Fungsi
Pendidikan
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan
pertama dan utama bagi anak. Fungsi keluarga dalm pendidikan adalah menyangkut
penanaman, pembimbingan atau pembiasaan nilai-nilai agama, budaya dan
keterampilan tertentu yang bermanfaat bagi anak.berkaitan dengan tanggung jawab
orangtua dalm mendidik anak, agama telah memberikan kaidah-kaidah yang menjadi
rujukan dalam rangka mengembangkan ”waladun shalihun” (anak yang shaleh). Hadit
riwayat Imam Hakim “kewajiban orantua terhadap anaknya adalah mengajarinya
tulis baca, berenang, memanah, dan memberi rizki yang baik.” Tanggung jawab
orang tua dalam dari mendidik anak tidak hanya sebatas anak mampu
mempertahankan hidupnya, namun lebih dari itu adalah mampu memaknai hidupnya.
4. Fungsi
Sosialisasi
Keluarga berfungsi sebagai miniatur
masyarakat yang mensosialisasikan peran-peran hidup dalam masyarakat yang harus
dilaksanakan oleh para anggotanya. Keluarga merpuakn lembaga yang mempengaruhi
perkembangan kemampuan anak untuk menaati peraturan, mau bekerjasama dengan
orag lain, bersikap toleran, menghargai pendapat gagasan orang lain, mau
bertanggung jawab dan bersikap matang dalam kehidupan yang heterogen.
5. Fungsi
perlindungan
Keluarga berfungsi sebagai pelindung
bagi para anggota keluarganya dari gangguan, ancaman atau kondisi yang
menimbulkan ketidaknyamanan para anggotanya.
6. Fungsi
Rekreatif
Keluarga harus diciptakan sebagai
lingkungan yang memberikan kenyamanan, keceriaan, kehangatan dan penuh semangat
bagi anggotannya. Sehubungan dengan hal itu, maka keluarga harus ditata sedemikian
rupa, seperti menyangkut aspek dekorasi interior rumah, hubungan komunikasi
yang tidak kaku (kesempatan berdialog bersama sambil santai), makan bersama,
bercengkrama dengan penuh suasana humor, dan sebagainya.
c.
Faktor-faktor keluarga
yang mempengaruhi perkembangan anak (remaja)
1. Keberfungsian
keluarga
Seiring perjalanan hidupnya yang
diwarnai factor internal (kondisi fisik, psikis dan moralitas anggota keluarga)
dan factor eksternal (perubahan sosial-budaya), maka setiap keluarga mengalami perubahan
yang beragam. Ada keluarga yang semakin kokoh dalam menerapkan fungsinya
(fungsional-normal) tetapi ada juga keluarga yang mengalami keretakan atau
ketidakharmonisan (disfungsional/tidak normal).
Keluarga yang fungsional (normal) yaitu
keluarga yang telah mampu melaksanakan fungsinya sebagaimana yang sudah
dijelaskan. Di samping itu, keluarga yang fungsional ditandai oleh
karakteristik:
a)
Saling memperhatikan
dan mencintai
b)
Bersikap terbuka dan
jujur
c)
Orangtua mau
mendengarkan anak, menerima perasaannya dan menghargai pendapatnya
d) Ada
“sharing” masalah atau pendapat di antara anggota keluarga
e)
Mampu berjuang
mengatasi masalah hidupnya
f)
Saling menyesuaikan
diri dan mengakomodasi
g)
Orangtua melindungi
(mengayomi) anak
h)
Komunikasi antar
anggota keluarga berlangsung dengan baik
i)
Keluarga memenuhi
kebutuhan psikososial anak dan mewariskan nilai-nilai budaya
j)
Mampu beradaptasi
dengan perubahan yang terjadi
Dalam nada yang sama, Alexander A.
Schneiders (1960:405) mengemukakan bahwa keluarga ideal ditandai oleh ciri-ciri:
a)
Minimnya perselisihan
antara orangtua atau orangtua dengan anak
b)
Ada kesempatan untuk
menyatakan keinginan
c)
Penuh kasih saying
d) Penerapan
disiplin yang tidak keras
e)
Ada kesempatan untuk
bersikap mandiri dalam berpikir, merasa dan berperilaku
f)
Saling menghormati,
menghargai (mutual respect) di antara orangtua dengan anak
g)
Ada konferensi
(musyawarah) keluarga dalam memecahkan masalah
h)
Menjalin kebersamaan
(kerjasama anatara orangtua dengan anak)
i)
Orangtua memliki emosi
yang stabil
j)
Berkecukupan dalam
bidang ekonomi
k)
Mengamalkan nilai-nilai
moral dan agama
Ciri –ciri keluarga yang mengalami
disfungsi itu adalah :
a)
Kematian salah satu
atau kedua orang tua
b)
Kedua orang tua
berpisah atau bercerai
c)
Hubungan kedua orang
tua tidak baik
d) Hubungan
orang tua dengan anak tidak baik
e)
Suasana rumah tangga
yang tegang dan tanpa kehangatan
f)
Orangtua sibuk dan
jarang berada dirumah
g)
Salah satu atau kedua
orangtua mempunyai kelainan kepribadian atau gangguan kejiwaan
TABEL 3.1
Sikap
atau perlakuan orang tua dan dampaknya terhadap kepribadian anak
POLA PERLAKUAN
ORANGTUA
|
PERILAKU ORANGTUA
|
PROFIL TINGKAH LAKU ANAK
|
|
1.
Overprotection
(terlalu melindungi)
|
2.
Kontak
yang berlebihan dengan anak
3.
Perawatan
bantuan kepada anak yang terus-menerus meskipun anak sudah mampu merawat
dirinya sendiri
4.
Mengawasi
kegiatan anak secara berlebihan
5.
Memecahkan
masalah anak
|
1.
Perasaan
tidak aman
2.
Agresif
dan dengki
3.
Mudah
merasa gugup
4.
Melarikan
diri dari kenyataan
5.
Sangat
tergantung
6.
Ingin
menjadi pusat perhatian
7.
Bersikap
menyerah
8.
Lemah
dalam “ego strength”
9.
Kurang
mampu mengendalikan emosi
10. Menolak tanggung
jawab
11. Kurang percaya diri
12. Mudah terpengaruh
13. Peka terhadap kritik
14. Bersikap”yes men”
15. Egois
16. Suka bertengkar
17. Pembuat onar
18. Sulit dalam bergaul
19. Mengalami”homesick”
|
|
2.
Permissiveness
( pembolehan)
|
1.
Memberikan
kebebasan untuk berpikir
2.
Menerima
gagasan
3.
Membuat
anak merasa diterima dan merasa kuat
4.
Toleran
dan memahami kelemahan anak
5.
Cenderung
lebih suka memberi yang diminta anak daripada menerima
|
1.
Pandai
mencari jalan keluar
2.
Dapat
bekerjasama
3.
Percaya
diri
4.
Penuntut
dan tidak sabaran
|
|
3.
Rejection
(penolakan)
|
1.
Bersikap
masa bodoh
2.
Bersikap
kaku
3.
Kurang
mepedulikan kesejahteraan anak
4.
Menampilkan
sikap permusuhan atau dominasi terhadap anak
|
1.
Agresif
( mudha marah,gelisah,tidka patuh,suka bertengkar,dan nakal)
2.
Submissive
(kurang dapat mengerjakan tugas,pemalu,suka mengasingkan diri,mudah
tersinggung dan penakut)
3.
Sulit
bergaul
4.
Pendiam
5.
Sadis
|
|
4. acceptance (penerimaan)
|
1.
Memberikan
perhatiandan cinta kasih yang tulus kepada anak
2.
Menempatkan
anak dalam posisi yang penting di dalam rumah
3.
Mengembangkan
hubungan yang hangat dengan anak
4.
Bersikap
respek terhadap anak
5.
Mendorong
anak untuk menyatakan perasaan atau pendapatnya
6.
Berkomunikasi
dengan anak secara terbuka dan mau mendengarkan masalahnya
|
1.
Mau
bekerjasama
2.
Bersahabat
3.
Loyal
4.
Emosinya
stabil
5.
Ceria
dan bersikap optimis
6.
Mau
menerima tanggung jawab jujur
7.
Dapat
dipercaya
8.
Memiliki
perencanaan yang jelas untuk mencapai masa depan
9.
Bersikap
relistik
|
|
5.domination(dominasi)
|
Mendominasi anak
|
1.
Bersikap
sopan dan sangat berhati-hati
2.
Pemalu,penurut,inferior,dan
mudah bingung
3.
Tidak
dapat bekerjasama
|
|
6. submission (penyerahan)
|
1. senantiasa memberikan sesuatu yang diminta anak
2. membiarkan anak berperilaku semaunya dirumah
|
1. tidak patuh
2.tidak bertangung jawab
3. agresif dan teledor
4. bersikap otoriter
5. terlalu percaya diri
|
|
7.
Punitiveness/overdiscipline
(terlalu disiplin)
|
1.
Mudah
memberikan hukuman
2.
Menanamkan
kedisiplinan secara keras
|
1.
Impulsif
2.
Tidak
dapat mengambil keputusn
3.
Nakal
4.
4.
Sikap bermusuhan atau agresif
|
|
Dari
ketujuh sikap atau perlakuan orangtua itu, tampak bahwa sikap ”acceptance”
merupakan yang baik unutk dimiliki atau dikembangkan oleh orangtua. Sikap
seperti ini ternyata telah memberikan kontribusi kepada pengembangan
kepribadian anak yang sehat. Peck (loree, 1970:44) telah meneliti hubungan
antara karakteristik emosional dan pola perlakuan keluarga dengan elemen-elemen
struktur kepribadian remaja. Hasil temuannya menunjukan bahwa :
a.
Remaja
yang memiliki “ego strength” (kematangan emosional, integrasi pribadi, otonomi,
bertingkah laku rasional, persepsi diri dan sosial yang akurat, dan keinginan
untuk menyesuaikan diri dengan harapan-harapan masyarakat), secara konsisten
berkaitan erat dengan pengalamannya di lingkungan keluarga yang saling
mempercayai dan menerima.
b.
Remaja
yang memiliki “superego strength” (berperilaku efektif yang dibimbing oleh kata
hatinya) sangat berkaitan erat dengan keteraturan dan konsistensi keluarganya.
c.
Remaja
yang “friendliness” dan “spontanetty” berhubungan erat dengan iklim keluarga
yang demokratis
d.
Remaja
yang bersikap bernusuhan dan memiliki perasaan gelisah atau cemas terhadap
dorongan-dorongan dari dalam, berkaitan erat dengan keluarga yang otoriter.
Dalam membahas hal yang sama, Diana Baumrind (Weiten dan Lioyd 1994:
359-360; Sigelman dan Shaffer, 1995 :396) mengemukakan hasil penelitiannya melalui observasi dan wawancara terhadap siswa
taman kanak-kanak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gaya perlakuan
orangtua
(Parenting
sttyle) dan kontribusinya terhadap kompetensi sosial, emosional, dan intelektual siswa. Dalam
penelitian ditemukan:
a.
Authoritarian,
permissive, Autoritative, dan neglectful
b.
Dampak gaya perlakuan orangtua terhadap perilaku anak
Selanjutnya
Braumrind mengemukakan tentang dampak “Parenting styles” terhadap perilaku
remaja,
yaitu (1)
remaja yang orangtuanya bersikap “authoritarian”, cenderung bersikap bermusuhan dan memberontak (2) remaja yang orangtuanya
“permisif” cenderung berperilaku bebas (tidak kontrol), dan (3) remaja yang orang
tuanya “authoritative” cenderung terhindar dari kegelisahan, kekacauan, atau perilaku nakal.
Mengkaji
hal yang sama Weiten dan Lioyd ( 1994:361) mengemukakan lima prinsip “
effective parenting” ( perlakuan orangtua efektif), yaitu :
a)
Menyusun standar (aturan perilaku) yang tinggi, namun dapat dipahami. Dalam hal
ini, anak diharapkan untuk
berperilaku dengan cara yang tepat sesuai dengan usianya.
b)
Menaruh perhatian terhadap perilaku anak yang baik dan memberikan reward/ganjaran.
Perlakuan ini perlu dilakukan sebagai pengganti dari kebiasaan orang tua pada umumnya yaitu bahwa
mereka suka menaruh perhatian kepada anak pada saat anak berperilaku
menyimpang,
namun
membiarkannya ketika melakukan baik.
c)
Menjelaskan alasan (tujuannya) ketika meminta anak untuk melakukan sesuatu.
d)
Mendorong anak untuk menelaah dampak perilakunya terhadap orang lain
e)
Menegakkan aturan secara konsisten
3.
Kelas sosial dan Status Ekonomi
Maccoby dan McLoyd ( Sigelman
dan shaffer,1995 : 396-397) telah membandingkan orangtua kelas menengah dan
atas dengan kelas bawah atau pekerja. Hasilnya,menunjukan bahwa orangtua kelas
bawah atau pekerja cenderung : (a) sangat menekankan kepatuhan dan respek
terhadap otoritas (b) lebih restriktif (keras) dan otoriter (c) kurang
memberikan alasan kepada anak (d) kurang bersikap hangat dan memberi kasih
sayang kepada anak.
Pikunas (1976:72) mengemukakan
pedapat Becker,
Deutsch, Kohn, dan Sheldon tentang kelas
sosial dengan cara atau teknik orangtua dalam mengatur
(mengelola/memperlakukan) anak yaitu bahwa:
a)
Kelas bawah (lower class) cenderung lebih keras dalam “toilet training” dan
lebih sering menggunakan hukuman fisik, dibandingkan dengan kelas menengah. Anak-anak dari kelas bawah cenderung
lebih agresif,
independen, dan lebih awal dalam pengalaman
seksual.
b)
Kelas menengah (middle Class) cenderung lebih memberikan pengawasan, dan perhatiannya sebagai orang
tua. Para ibunya merasa bertanggung jawab terhadap tingkah laku anak-anaknya
dan merepakan kontrol lebih halus. Mereka mempunyai ambisi untuk meraih status
yang lebih tinggi,
dan menekan
anak untuk mengejar statusnya melalui pendidikan atau latihan profesional.
c)
Kelas atas (upper class) cenderung lebih memanfaatkan waktu luangnya dengan
kegiatan-kegiatan
tertentu,
lebih memilki
latar belakang pendidikan yang reputasinya tinggi dan biasanya senang mengembangkan apresiasi estetikanya.
Anak-anaknya cederung memiliki percaya diri, dan cenderung bersikap
memanipulasi aspek realitas.
Adapun
pengaruh status ekonomi terhadap kepribadian remaja, adalah bahwa orangtua dari
status ekonomi rendah cenderung lebih menekankan kepatuhan kepada figur-figur
yang mempunyai otoritas: kelas menengah dan atas cenderung menekankan kepada
pengembangan inisiatif, keingintahuan,
dan kreativitas anak.
Rand
Conger (Sigelman dan Shaffer,1995 :397) dan perkumpulan mengemukakan bahwa
orangtua yang mengalami tekanan ekonomi atau perasaan tidak mampu mengatasi
masalah finansialnya, cenderung menjadi depresi, dan mengalami konflik
keluarga,yang akhirnya mempengaruhi masalah remaja, seperti kurang harga diri, prestasi belajar rendah, kurang dapat bergaul dengan teman, mengalami masalah masalah penyesuaian diri (karena depresi dan agresi).
2.
LINGKUNGAN SEKOLAH
Sekolah merupakan lembaga pendidikan
formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, dan, dan latihan
dalam rangka membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang
menyangkut aspek moral spritual, intelektual, emosional, maupun sosial.
Mengenai peranan sekolah dalam
mengembangkan kepribadian anak, Hurlock (1986:322) mengemukakan bahwa sekolah
merupakan faktor penentu bagi perkembangan kepribadian anak (siswa), baik cara
berpikir, bersikap maupun cara berperilaku. Sekolah berperan sebagai substitusi
keluarga, dan guru substitusi orang tua.
Ada beberapa alasan mengapa sekolah
memainkan peranan yang berarti bagi perkembangan kepribadian anak, yaitu :
1.
Para siswa harus hadir
di sekolah
2.
Sekolah memberika
pengaruh kepada anak secara dini, seiring dengan perkembangan “konsep diri”
nya.
3.
Anak-anak banyak menghabiskan
waktunya di sekolah daripada tempat lain di luar rumah.
4.
Sekolah memberikan
kesempatan kepada siswa untuk meraih sukses
5.
Sekolah memberikan
kesempatan pertama kepada anak untuk menilai dirinya, dan kemampuannya secara
realistik.
Menurut Havighurst, sekolah memiliki peranan
atau tanggung jawab penting dalam membantu para siswa mencapai tugas
perkembangannya. Sehubungan dengan hal
ini, sekolah berupaya menciptakan iklim yang kondusif, atau kondisi yang dapat
memfasilitasi siswa untuk mencapai tugas perkembangannya.
Upaya sekolah dalam memfasilitasi tugas-tugas
perkembangan siswa (seperti kegiatan-kegiatan di atas), akan berjalan dengan
baik apabila di sekolah tersebut telah tercipta iklim atau atmosfer yang sehat
dan efektif, baik menyangkut aspek manajemennya, maupun profesionalisme para
personilnya.
Michael Rutter (Sigelman dan
Shaffer,1995:426), mendefinisikan sekolah yang efektif itu sebagai “sekolah
yang memajukan, meningkatkan, atau mengembangkan prestasi akademik, keterampilan
sosial, sopan santun, sikap positif terhadap belajar, rendahnya angka absen
siswa, dan memberikan keterampilan-keterampilan yang memungkinkan siswa dapat
bekerja”.
David W Johnson juga mengemukakan
tentang karakteristik sekolah yang efektif dan sehat atau health. Menurutnya, sekolah
yang efektif dapat di definisikan melalui pengukuran tentang:
1.
Total biaya pendidikan
bagi setiap siswa untuk mencapai tingkat kompetensi atau sosialisasi tertentu
2.
Motivasi atau semngat
para personil sekolah dan siswa.
3.
Kemampuan sekolah untuk
memilki peronil, fasilitas, material, dan siswa yang baik.
4.
Kemampuan sekolah untuk
menempatkan para lulusannya kesekolah lanjutan (perguruan tinggi) atau dunia
kerja.
Sedangkan sekolah yang sehat (healthy
school), didefinisikannya sebagai kemampuan sekolah untuk berkembang, atau
berubahdalam cara-cara yang produktif. Dalam hal ini, Johnson mengemukakan
pendapat Miles dan asosiasinya. Miles membagi sekolah yang sehat itu dalam tiga
bidang, yaitu:
1.
Task Accomplishment
(penyelesaian tugas) yang menyangkut: (a) alasan yang jelas, dapat diterima,
dapat dicapai dan tujuan-tujuannya tepat (b) relatif lancar dalam berkomunikasi
baik horizontal ,aupun vertikal dan (c) penyamaan kekuatan yang optimal, gaya
yang mempengaruhi kolaborasi dan berdasarkan pada kompetensi dan pemecahan
masalah
2.
Integrasi internal yang
menyangkut: (a) pemanfaatan sumber daya yang penuh (b) identitas sekolah yang
cukup jelas dan menarik sehingga para personilnya merasa menyatu dengan sekolah
dan (c) para personilnya memiliki semangat kerja yang tinggi, meraa senang dan
meraa memiliki sekolah.
3.
Saling beradaptasi
antara sekolah dengan lingkungan yang menyangkut: (a) inovatif, kecendrungan
untuk berkembang, atau berubah setiap saat (b) otonomi, kemampuan untuk
berbuat, bertindak berdasarkan kekuatan sendiri (c) adaptasi, perubahan yang
simultan baik disekolah maupun lingkungan yang terjadi secara berkesinambungan,
selama terjadinya kontak diantara sekolah dengan lingkungan tersebut (d)
ketepatan dalam menyelesaikan masalah: kemampuan sekolah untuk mendeteksi
masalah yang munculnya tidak terelakkan, menemukan solusi yang dapat
dilaksanakan, melaksanakan atau melakukan kegiatan, dan mengevaluasi
keefektifannya.
Sekolah yang efektif juga ditandai dan
didukung oleh kualitas para guru, baik menyangkut karakteristik pribadi maupun
kompetensinya. Karakteristik pribadi dan kompetensi guru ini sangat berpengaruh
terhadap kualitas iklim kelas, yang pada gilirannya akan berpengaruh juga pada
keberhasilan siswa.
M. Ray Loree juga beranggapan bahwa
kemajuan belajar di pengaruhi oleh hubungan interpersonal yang terjadi di
kelas. Hubungan ini berifat hangat atau dingin (warm or cool), tegang atau tenang (tense or relaxed), antagonostik atau kohesif (antagonistict or cohesive), bersahabat atau bermusuhan (friendly or hostile).
Allan C. Ornsteim mengemukakan hasil
penelitian David Ryans tentang karakteristik guru yang efektif atau yang
diharapkan. Karakteristik guru itu diklasifikasikan kedalam 4 kelas yaitu:
1.
Kreatif: bersifat
rutin, bersifat eksak, dan berhati-hati
2.
Dinamis: enerjik, ekstrafer,
dan tidak dinamis: pasif, menghindar, dan menyerah
3.
Terorganisasi: sadar
akan tujuan, pandai mencari cara pemecahan masalah dan kontrol, dan tidak
terorganisasi: kurang sadar akan tujuan dan tidak memiliki kemampuan kontrol
4.
Bersifat angat: pandai
bergaul, ramah, dan sabar, dan dingin: tidak bersahabat, sikap bermusuhan, dan
tidak sabar.
Uraian di atas mempertegas bagaimana
seharunya menciptakan iklim atau atmosfir sekolah sebagai lingkungan
perkembangan yang kondusif bagi proses pembelajaran siswa atau upaya
memfasilitasi siswa dalam menuntaskan tugas-tugas perkembangannya.
3.
TEMAN SEBAYA
Makin bertambah umur,
si anak makin memperoleh kesempatan lebih luas untuk mengadakan
hubungan-hubungan dengan teman-teman sebayanya, sekalipun dalam kenyataannya perbedaan-perbedaan
umur yang relatif besar tidak menjadi sebab tidak adanya kemungkinan melakukan
hubungan-hubungan dalam suasana bermain.
Anak yang bertindak
langsung atau tidak langsung sebagai pemimpin, atau yang menunjukkan ciri-ciri
kepemimpinan dengan sikap-sikap menguasai anak-anak lain, akan besar
pengaruhnya terhadap pola-pola sikap atau pola-pola kepribadian.
Konflik-konflik terjadi pada anak bilamana norma-norma pribadi sangat berlainan
dengan norma-norma yang ada di lingkungan teman-teman. Di satu pihak ia ingin
mempertahankan pola-pola tingkah laku yang diperoleh di rumah, sedangkan di
pihak lain lingkungan menuntutsi anak untuk memperlihatkan pola yang lain, yang
bertentangan dengan pola yang sudah ada, atau sebaliknya.
Makin kecil
kelompoknya, di mana hubungan-hubungan erat terjadi, makin besar pengaruh
kelompok itu terhadap anak, bila dibandingkan dengan kelompok yang besar yang
anggota-anggota kelompoknya tidak tetap.
Teman sebaya adalah anak-anak yang lain
yang mempunyai usia yang hampir ataupun sama dengan seorang anak. Teman sebaya
mulai memainkan peran yang penting dalam perkembangan dan kognisi anak-anak.
Hubungan anak-anak dengan teman sebaya mereka berbeda-beda dalam berberapa
hal dari interaksi mereka dengan orang
dewasa. Permainan dengan teman sebaya memungkinkan anak-anak berinteraksi
dengan orang-orang lain yang tingkat perkembangannya mirip dengan tingkat
perkembangan mereka sendiri. Ketika teman sebaya bertengkar di antara mereka
sendiri, mereka harus memberikan pengakuan dan harus bekerja sama
menyelesaikannya. Konflik dengan tema sebaya juga memungkinkan anak-anak
melihat bahwa orang lain mempunyai pemikiran, perasaan, dan sudut pandang yang berbeda
dari mereka sendiri. Konflik juga mempertinggi kepekaan anak-anak mengenai
akibat perilaku terhadap orang-orang lain. Dengan cara ini mengatasi
egosentrisme yang di jelaskan piaget sebagai karakteristik pemikiran
praoperasi, dan membantu mereka melihat bahwa orang lain mempunyai sudut
pandang yang berbeda dari
sudut pandang yang berbeda dari sudut pandang mereka sendiri.
Kelompok teman sebaya sebagai lingkungan
sosial bagi remaja (siswa) mempunyai peranan yang cukup penting bagi
perkembangan kepribadiannya. Peranannya itu semakin penting, terutama pada saat
terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat pada beberapa dekade terakhir
yaitu:
1.
Perubahan struktur
keluarga, dari keluarga bear ke keluarga kecil.
2.
Kesenjangan anatara
generasi tua dan generasi muda.
3.
Ekspansi jaringan
komunikasi di antara kaum muda.
4.
Panjangnya masa atau
penundaan memasuki masyarakat dewasa.
Aspek kepribadian yang berkembang secara
menonjol dalam pengalamannya bergaul dengan teman sebaya adalah:
A.
Social Cognition:
kemampuan untuk memikirkan tentang pikiran, perasaan, motif, dan tingkah laku
dirinya dan orang lain. Kemampuannya memahami orang lain, memungkinkan remaja
untuk lebih mampu menjalinn hubungan sosial yang lebih baik dengan teman
sebayanya. Mereka telah mampu melihat bahwa orang itu sebagai pribadi yang
unik, dengan perasaan, nilai-nilai, minat, dan sifat-sifat kepribadian yang
beragam. Kemampuannya ini berpengaruh kuat terhadap minatnya untuk bergaul atau
membentuk persahabatan dengan teman sebayanya (Sigelman dan
Shaffer,1995:372,376).
B.
Konformitas: motif
untuk menjadi sama, sesuai, seragam, dengan nilai-nilai, kebiasaan, kegemaran (hoby),
atau budaya teman sebayanya. Berdasarkan survey nasional terhadap remaja di
Amerika, di temukan bahwa remaja memiliki kecenderungan yang kuat untuk menjadi
populer dan konformitas. Konformitas kepada norma kelompok terjadi apabila:
1.
Norma tersebut secara
jelas tidak dinyatakan.
2.
Individu berada di
bawah pengawasan kelompok.
3.
Kelompok memiliki
sanksi yang kuat.
4.
Kelompok memiliki sifat
kohesif yang tinggi.
5.
Kecil sekali terhadap
penyimpangan dari norma (David W. Johnson,1970:229)
Mengkaji persahabtan di kalangan teman
sebaya, banyak hasil penelitian menunjukan, bahwa faktor utama yang menentukan
daya tarik hubungan interperonal diantara para remaja pada umumnya adalah
adanya kesamaan dalam: minat, nilai-nilai, pendapat, dan sifat-sifat
kepribadian. Penelitian Kandel (Adam dan Gullota,1983:112), menunjukan bahwa
karakteristik persahabatan remaja adalah di pengaruhi oleh kesamaan: usia, jenis
kelamin, dan ras. Sedangkan di sekolah di pengaruhi oleh kesamaan dalam
faktor-faktor: harapan/aspirasi pendidikan, nilai (prestasi belajar), absensi,
dan pengerjaan tugas-tugas atau pekerjaan rumah. Kandel juga menemukan bahwa
kesamaan dalam menggunakan obat-obat terlarang (terutama merokok, dan minuman
keras mempunyai pengaruh yang kuat dalam pemilihan teman.
Hasil penelitian lainnya di kemukakan
oleh Hans Sebald bahwa teman sebaya lebih memberikan pengaruh dalam memilih
teman: cara berpakaian, hobi, perkumpulan, dan kegiatan sosial lainnya.
Peranan kelompok teman sebaya bagi
remaja adalah memberikan kesempatan untuk belajar tentang:
1)
Bagaimana berinteraksi
dengan orang lain.
2)
Mengontrol tingkah laku
sosial.
3)
Mengembangkan
keterampilan dan minat yang relevan dengan usianya.
4)
Saling bertukar
perasaan dan masalah.
Peter dan Anna Freud mengemukakan bahwa
kelompok teman sebaya telah memberikan kesempatan yang penting untuk
memperbaiki bencana kerusakan psikologis selama masa anak, dan dapat
mengembangkan hubungan baru yang lebih baik antar satu sama lainnya. Kelompok
sebaya yang suasananya yang hangat, menarik, dan tidak eksploitatif dapat
membantu remaja untuk memperoleh pemahaman tentang:
1)
Konsep diri, masalah
dan tujuan yang lebih jelas.
2)
Perasaan berharga
3)
Perasaan optimis tentang
masa depan.
Peran lainnya adalah membantu remaja
untuk memahami identitas diri, atau jati diri sebagai suatu hal yang sangat
penting, sebab tidak ada fase perkembangan lainnya yang kesadaran identitas
dirinya itu mudah berubah(tidak stabil),kecuali masa remaja ini. Hal ini
terjadi karena remaja, usianya sudah lewat masa anak, namun belum dapat di
terima sebagai orang dewasa. Oleh karena itu, dia harus mempersiapkan dirinya
untuk belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat, yang menyangkut:
1)
Kemandirian sosial
2)
Kompetensi vokasional
3)
Warga negara yang
bertanggung jawab
4)
Pernikahan dan hidup
berkeluarga
5)
Filsafat hidup yang
dapat di terapkan(Conger,1983: 325-328)
Dari penjelasan di atas menunjukan bahwa
kelompok teman sebaya itu mempunyai kontribusi yang sangat positif terhadap
perkembangan kepribadian remaja. Namun di sisi lain, tidak sedikit remaja yang
berperilaku menyimpang, karena pengaruh teman sebayanya.
Pengaruh kelompok teman sebayanya
terhadap remaja itu ternyata berkaitan dengan iklm keluarga remaja itu sendiri.
Remaja yang memiliki hubungan yang baik dengan orang tuanya (iklim keluarga
yang sehat) cenderung dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif teman
sebayanya, di bandingkan dengan remaja yang hubungan dengan orang tuanya kurang
baik. Judith Brook dan koleganya menemukan bahwa hubungan orang tua dan remaja
yang sehat dapat melindungi remaja tersebut dari pengaruh teman sebaya yang
tidak sehat. (Sigelman dan Shaffer, 1995: 380).
4.
LINGKUNGAN
SOSIAL BUDAYA
Faktor sosial yang dimaksud di sini adalah masyarakat di sekitar individu yang
mempengaruhi individu tersebut. Yang termasuk dalam faktor sosial ini adalah tradisi-tradisi, adat istiadat, dan
peraturan-peraturan yang berlaku di masyarakat.
Pada masa bayi dan kanak-kanak, peranan keluarga (ayah
dan ibu) sangat menentukan bagi kepribadian individu itu selanjutnya.
Kebiasaan-kebiasaan, keadaan dan suasana keluarga yang berbeda juga memberi
pengaruh yang cukup menentukan terhadap perkembangan kepribadian individu.
Misalnya saja, keluarga yang masih utuh (ada ayah dan ibu), akan lain
suasananya dengan keluarga yang sudah tidak utuh, seperti, ayah yang sudah
meninggal, orang tua yang bercerai, sehingga suasana dalam rumah itu akan
menjadi masalah tersendiri dalam perkembangan individu.
Memang pengaruh lingkungan keluarga terhadap
perkembangan anak sejak kecil sangat mendalam dan menentukan perkembangan
kepribadian anak selanjutnya. Hal ini disebabkan karena ( Ahmad Musa, 1969 : 94
) :
a)
Pengaruh itu merupakan pengalaman
yang pertama-tama
b)
Pengaruh yang diterima anak itu
masih terbatas jumlah dan luasnya
c)
Intensitas pengaruh itu tinggi
karena berlangsung terus-menerus siang dan malam
d)
Umumnya pengaruh itu diterima dalam
suasana aman dan bersifat intim dan bernada emosional
Faktor kebudayaan yang dimaksudkan di sini adalah
kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Di negara
kita sendiri, misalnya, dapat diketahui di mana kehidupan masyarakat di
pedalaman Irian berbeda dengan kehidupan masyarakat Indonesia lain. Hal ini
menunjukkan bahwa cara – cara hidup, adat istiadat, kebiasaan, bahasa,
kepercayaan, dan sebagainya dari suatu daerah / negara dan masyarakat yang
lain.
Adapun beberapa aspek kebudayaan yang sangat
mempengaruhi perkembangan dan pembentukan kepribadian itu, antara lain, nilai –
nilai (values), pengetahuan dan keterampilan, serta adat dan tradisi (
Koeswara, Teori – teori Kepribadian, 1991 : 85).
a)
Nilai
nilai ( values )
Pada setiap kebudayaan terdapat nilai – nilai yang
dijunjung tinggi oleh individu yang hidup dalam kebudayaan itu. Menaati nilai –
nilai yang hidup dalam kebudayaan itu menjadi idaman dan kewajiban bagi setiap
anggota masyarakat kebudayaan tersebut. Dan untuk bisa diterima sebagai anggota
suatu masyarakat, maka seseorang harus memiliki kepribadian yang selaras dengan
kebudayaan yang berlaku pada suatu masyarakat tertentu.
b)
Pengetahuan
dan Keterampilan
Pengetahuan yang dimiliki oleh setiap individu juga
mempengaruhi sikap dan tindakannya. Sedang pengetahuan yang dimiliki oleh
individu tidaklah sama kadar dan luasnya antara individu yang satu dengan yang
lainnya. Begitu pula jenis pengetahuan yang dimilikinya tidaklah sama. Ada yang
ahli di bidang ekonomi, di bidang kedokteran, di bidang teknik, di bidang
pertanian, peternakan, dan sebagainya. Semua ini membentuk kepribadian yang
berbeda-beda pada setiap individu.
Demikian pula kecakapan atau keterampilan individu
dalam mengerjakan sesuatu yang juga merupakan bagian dari kebudayaannya.
Perbedaan-perbedaan keterampilan tersebut dapat kita lihat dalam kehidupan
sehari-hari, seperti ada orang yang ahli atau mempunyai kecakapan dalam
berpidato yang dapat menarik dan mempengaruhi pendengar (orator), ada yang
cakap dalam musik, dan sebagainya.
c)
Adat dan
Tradisi
Adat istiadat (tradisi) suatu daerah berbeda dengan
daerah lainnya. Dalam hal perkawinan, model rumah, upacara keagamaan,
kepercayaan, dan sebagainya, hampir setiap daerah memiliki karakteristik
sendiri-sendiri.
Semua adat dan tradisi yang berlaku di suatu daerah
tersebut, selain menentukan nilai-nilai yang harus ditaati oleh
anggota-anggota, juga menentukan cara-cara bertindak dan bertingkah laku
manusianya
d)
Bahasa
Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi antar individu.
Dengan demikian, bagaimana sikap dan cara-cara bertindak seseorang, bagaimana
pergaulan hidup bermasyarakatnya, dan sebagainya, sebagian besar dipengaruhi
oleh bahasa yang berlaku dalam masyarakat itu.
Kata-kata yang tertera dalam kalimat bahasa
mencerminkan kepribadian bangsa, adalah tepat dan mengandung kebenaran yang dapat
diterima. Seperti perbedaan sikap dan cara hidup di daerah Jawa Timur sering
menggunakan bahasa Jawa yang kasar (ngoko)
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan
adalah situasi atau tempat di mana manusia itu hidup, menyesuakan
dirinya. Lingkungan itu dapat di artikan juga sebagai
segala hal yang merangsang kepada individu, sehingga individu tersebut turut
terlibat karenanya (individu melakukan kegiatan untuk merespon perangsang
tersebut). Terdpat empat
lingkungan yang mempengaruhi perkembangan individu, yakni lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, lingkungan teman sebaya, dan lingkungan sosial budaya.
Lingkungan
keluarga merupakan lingkungan pertama bagi individu untuk menyesuaikan diri
dalam masyarakat. Keluarga
memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi
anak.perawatan orangtua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang
nilai-nilai kehidupan, baik agama
maupun sosial budaya yang diberikan merupakan faktor kondusif untuk
mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat. Fungsi
dasar keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang, dan
mengembangkan hubungan yang baik diantara anggota keluarga. Hubungan cinta
kasih dalam keluarga tidak sebatas perasaan, akan tetapi juga menyangkut
pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman, respek dan keinginan
untuk menumbuhkembangkan anak yang dicintainya. Keluarga yang hubungan antar
anggotanya tidak harmonis, penuh konflik, atau gap communication dapat
mengembangkan masalah-masalah kesehatan mental (mental illness) bagi anak.
Lingkungan
sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang
secara sistematis melaksanakan program bimbingan, dan, dan latihan dalam rangka
membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang menyangkut aspek
moral spritual, intelektual, emosional, maupun sosial. Sekolah merupakan faktor
penentu bagi perkembangan kepribadian anak (siswa), baik cara berpikir, bersikap
maupun cara berperilaku. Sekolah berperan sebagai substitusi keluarga, dan guru
substitusi orang tua.
Lingkungan teman sebaya merupakan
anak-anak yang lain yang mempunyai usia yang hampir ataupun sama dengan seorang
anak. Teman sebaya mulai memainkan peran yang penting dalam perkembangan dan
kognisi anak-anak. Hubungan anak-anak dengan teman sebaya mereka berbeda-beda
dalam berberapa hal dari interaksi mereka dengan orang dewasa. Aspek
kepribadian yang menonjol ketika seseorang bergaul dengan sebaya ialah aspek
social kognitif dan konformitas. Kelompok teman sebaya memberikan pelajaran
bagi individu tentang bagaimana berinteraksi dengan orang lain, mengontrol
tingkah laku social, mengembangkan keterampilan dan minat yang relevan dengan
usianya dan saling bertukar perasaan dan
masalah.
Lingkungan sosial budaya yang
mempengaruhi perkembangan individu terbgi dua faktor, yaitu faktor sosial dan
budaya. Faktor sosial yang dimaksud di sini adalah
masyarakat di sekitar individu yang mempengaruhi individu tersebut. Yang
termasuk dalam faktor sosial ini adalah
tradisi-tradisi, adat istiadat, dan peraturan-peraturan yang berlaku di
masyarakat. Sedangkan faktor kebudayaan yang dimaksudkan di sini adalah
kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Beberapa
aspek kebudayaan yang sangat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan kepribadian
itu, antara lain, nilai-nilai (values), pengetahuan dan keterampilan, adat
dan tradisi, serta bahasa.
B.
SARAN
Lingkungan berperan penting dalam
mempengaruhi perkembangan individu. Lingkungan yang baik akan mempengaruhi
individu yang berperilaku baik pula. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua
pihak seperti lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan teman sebaya,
dan lingkungan sosial budaya bekerja sama dalam menciptakan kepribadian
individu yang baik dan menciptakan keselarasan antara perilaku aktual dengan
norma yang berlaku di masyarakat. Selain itu, pembekalan moral sejak dini pada
individu akan memberikan pengaruh besar pada individu itu sendiri dan tidak
mudah terbawa arus modernisasi yang membawa pengaruh tidak baik.
Daftar Pustaka
Slavin E. Robert
(2011) Psikologi Pendidikan. Jakarta
: PT Indeks.
Santrock John W (2011) Life Span development : PT Gelora Aksara Pratama.
Yusuf LN Syamsu Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar